Translate

Selasa, 06 November 2012


Contoh Artikel Bencana Alam:
Ada sekitar 28 tenaga kerja Indonesia (TKI) yanh bekerja sebagai perawat (nurse) dan pekerja perawat (care workers) di daerah tsunami Jepang. 15 Di antaranya belum bisa dikontak.

Crisis Centre Kemenakertrans untuk Tsunami Jepang menyatakan hal itu dalam rilisnya berdasarkan hasil pantauan dari Japan International Corporation of Welfare Services (JICWELS) pada pukul 09.30 WIB, Minggu (13/3/2011).

Mereka tersebar di beberapa prefektur yang terkena tsunami, sebagai berikut:

1. Miyagi (jumlah nurse 3 dan careworkers 6 orang)
2. Iwate (careworkers 2)
3. Fukushima (nurse 4)
4. Aomori (nurse 4 dan careworkers 9)

"Khusus di Prefektur Aomori semua selamat dan berada di rumah sakit dan panti jompo. Sedangkan di tiga prefektur lain komunikasi belum dapat dilakukan karena jaringan rusak sehingga situasinya belum terpantau jelas," jelas Crisis Center Kemenakertrans.

Tim evakuasi KBRI telah tiba melalui jalur darat ke daerah bencana dan pihak JICWELS akan tetap memantau dan menyampaikan laporan keadaan TKI di 3 daerah.

Perkembangan terakhir tentang para nurse dan careworkers akan dipantau terus. Kemenakertrans membuka Crisis Centre Tsunami Jepang di nomor 0815 744 7776, 0816 164 2613, 0815 187 3081 dan 0815 187 3081. Juga dapat dibuka website www.pemagangan.com.


Contoh Artikel Koran:
Membunuh Media, Mencederai Warga
Ditulis oleh Bimo Nugroho
Senin, 06 September 2004 00:00
Sumber: Opini - Koran Tempo

Apakah kita memiliki kebebasan? Apakah kita merasa memiliki kebebasan? Apakah kita cuma seolah-olah merasa memiliki kebebasan?
Kebebasan secara esensial membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Oleh karena itu, kebebasan menjadi asasi manusia, baik hak maupun kewajiban. Jadi, jawaban atas pertanyaan pertama menjadi haqul mutlak adanya: ya, kita memiliki kebebasan.

Apakah kita merasa memilikinya atau tidak, itu ditentukan oleh tingkat kesadaran sosial-politik tiap individu. Maka, muncullah gradasi kebebasan yang perbedaannya secara halus dipengaruhi oleh pendidikan, bacaan, dan pergaulan seseorang. Orang berjuang keras supaya berpendidikan, kaya, dan punya jaringan luas, ujung-ujungnya toh, memperbanyak pilihan untuk bebas. Sebaliknya, orang bisa mengabaikan sekolah, kekayaan, dan koneksi luas, karena ia merasa tanpa itu semua ia sudah menjadi manusia bebas. Kekayaan dan kekuasaan tidak mempunyai nilai ketika keduanya tak menambah pilihan bebas. 

Bahkan kekayaan dan kekuasaan bisa menjadi mengerikan tatkala menindas kebebasan.
Pada saat manusia menindas kebebasan, pada titik itulah sesungguhnya ia cuma seolah-olah merasa memiliki kebebasan. Ini adalah sebuah kesadaran palsu. Sebab, ketika ia membunuh kebebasan, setali tiga uang pula ia sedang mencederai kemanusiaannya.
Kasus Bambang Harymurti

Pengadilan atas Bambang Harymurti dan dua wartawan Tempo hari ini, juga peristiwa-peristiwa yang menimpa lembaga pers lainnya seperti majalah Trust, harian Rakyat Merdeka, dan Jawa Pos, bukanlah semata-mata kasus hukum, melainkan terlebih merupakan kasus pembunuhan atas kebebasan dan pencederaan terhadap asasi kemanusiaan. Mengapa demikian?

Analogi kerja jurnalis seperti halnya kerja seorang dokter barangkali bisa menerjemahkan filsafat kebebasan dengan kata-kata yang sederhana dalam tulisan yang singkat ini. Tugas jurnalis sama dengan tugas dokter, yaitu menyelamatkan manusia untuk hidup bebas. Dokter memeriksa, menelisik, dan memberi obat, bahkan bila perlu melakukan operasi bedah. Jurnalis mewawancara, mencari, dan memberi informasi, bahkan bila perlu melakukan investigasi. Dokter mempunyai prosedur standar kerja dan kode etik, jurnalis pun wajib bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode etiknya. Jika tidak, keduanya bisa dituduh malapraktek dan dipecat dari profesinya.

Apakah dengan mengikuti prosedur standar dan kode etiknya, dokter dan jurnalis dipastikan dapat menyelamatkan manusia untuk hidup bebas? Apakah dokter yang baik pasti menjamin pasiennya tak akan mati? Apakah wartawan yang baik pasti menjamin khalayak mendapat informasi yang tak terbantahkan? Belum tentu. Pasien mungkin mati dan informasi bisa salah. Tetapi, dokter dan jurnalis tak bisa dihukum jika ia sudah bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode etiknya.

Siapa yang mau jadi dokter dan jurnalis jika dalam setiap proses kerjanya bisa diganggu gugat atau dikriminalisasi? Setiap intervensi dari siapa pun terhadap kerja mereka justru bisa mengacaukan hasil dan independensi pekerjaannya. Di situlah dokter dan jurnalis mempunyai kebebasan otonom dalam kerja profesinya. Kebebasan itu diberikan bukan untuk enak-enakan, kerja semaunya, melainkan demi menjamin kemaslahatan hidup manusia.

Nah, bagaimana jika semua standar kerja dan kode etik sudah diikuti, toh pasien mati atau berita ternyata salah? Pergulatan manusia dengan kebebasan telah menemukan sebuah konsep yang dikenal luas: kebebasan memperoleh informasi. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan klaim atas kebenaran informasi, dan dokter atau jurnalis wajib memberikan jawaban kepada pihak yang berhak tersebut.

Indonesia belum memiliki UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan lembaga yang memfasilitasi warga seperti Komisi Informasi. Tetapi, ada Ikatan Dokter Indonesia dan Dewan Pers yang bisa menjadi forum arbitrase untuk klaim atas kebenaran informasi.
Bila proses arbitrase ini dijalankan, khususnya untuk kasus pers, kita bisa meyakini bahwa sesungguhnyalah kita memiliki kebebasan pers dan memang merasa memiliki kebebasan pers. Sebaliknya, kriminalisasi pers dengan tuntutan di pengadilan hingga membunuh media (bahkan overkilling!) hanya menunjukkan kesadaran palsu akan kebebasan. 

Mereka yang melakukannya barangkali tak menyadari bahwa membunuh media berarti mencederai warga, termasuk kemanusiaannya sendiri.
Penulis mendukung pernyataan Komite Antikriminalisasi Pers yang meminta supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus Tempo membebaskan Bambang Harymurti dan dua jurnalisnya. Lebih dari sekadar persoalan Tempo, kasus ini, seperti halnya yang menimpa media-media lain, merupakan persoalan bersama dalam upaya menegakkan demokrasi dan kebebasan. 

Sebagai warga, kita telah dicederai karena media-media tak lagi bebas memberikan informasi yang kita butuhkan. Pilihan informasi yang kita punya pun makin terbatas.
Citizen Lawsuit, Sekali lagi sebagai warga, kita tak bisa membiarkan kasus-kasus kriminalisasi pers ini makin banyak dan makin merugikan publik. Bagaimana caranya? Paling tidak ada dua: cara preman dan cara nonpreman atau yang beradab.

Mau gunakan cara preman? O, gampang, pakai saja kekerasan, intimidasi, sabotase, bahkan kalau perlu gunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan, seperti provokasi-provokasi yang telah meluluhlantakkan berbagai wilayah negeri ini. Mau cara yang lebih halus, cari pengacara yang lincah, main suap jaksa dan hakim sehingga keputusan pengadilan bisa diatur. Di luar pengadilan, terbitkanlah media cetak atau curilah izin frekuensi untuk bikin radio atau TV yang isinya mendukung upaya kita menggebuk lawan. 

Tetapi, saudara-saudara, cara-cara preman tersebut justru akan menjauhkan kita dari kebebasan dan kemanusiaan kita sendiri. Jadi, tak usahlah dipakai karena hasilnya hanya akan menjadikan kita seolah-olah merasa memiliki kebebasan.
Bagaimana dengan jalan nonpreman? Dalam aktivitas penulis bersama beberapa program LBH Pers, ada salah satu alternatif jalan hukum yang bisa ditempuh untuk melawan kriminalisasi pers, yaitu Citizen Lawsuit. 

Sebagai warga negara kita bisa menuntut perubahan kebijakan yang wajib dilakukan oleh lembaga-lembaga negara untuk menghentikan kriminalisasi pers.
Sayang, tulisan ini punya keterbatasan ruang untuk menerangkan sisik-melik Citizen Lawsuit, tetapi pada intinya Anda bersama rekan-rekan Anda (termasuk saya) dapat meminta Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang mengikat jajaran hakim di seluruh Indonesia untuk menggunakan UU Pers Nomor 40/1999 sebagai aturan khusus dalam menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers.

UU Pers itu memang tidak sangat sempurna, tetapi paling tidak menjamin kita sebagai warga negara untuk mendapatkan informasi lewat pers. Dengan kebebasan pers, tidak berarti media dan pekerjanya bisa seenak-enaknya melansir berita karena ada standar kerja dan kode etik yang harus mereka ikuti. Jadi, kalaupun beritanya salah, kita bisa melakukan klaim lewat Dewan Pers, karena kita punya hak dan kebebasan untuk memperoleh informasi, tanpa harus membunuh medianya. Karena membunuh media berarti mencederai diri kita sendiri sebagai warga negara.

“Kembalikan sastra indonesia…!”

            sastra adalah salah satu budaya bangsa yang pernah meraih puncak kejayaan pada masa lama, yakni pada abad 20 (1901-2000) dimulai dari zaman balai pustaka (1920-1933) hingga akhir dasawarsa 1990. Saat itu banyak bermunculan sastrawan-sastrawan berbakat seperti dalam dunia puisi chairil anwar, taufik ismail, asrul sani, dan lain-lain. Karya-karya merekapun tidak hanya diam dalam lembaran coretan saja. Tapi, dapat terealisasikan dengan baik. Sehingga penikmat-penikmat sastra dapat menikmatinya. Namun sayang, perkembangan sastra mulai dikatakan lambat. Terutama pada tahun 2000-an, sastrawan-sastrawan baru indonesia mulai tak terdeteksi, mungkin, hanya abdurrahman faiz yang mampu menunjukkan diri dengan karyanya “untuk bunda dan dunia”. Semua terjadi disebabkan oleh menurunnya penikmat sastra indonesia pada dunia nyata. Sastra lamapun saat ini mulai terlupakan. Di zaman teknologi yang mulai canggih ini. Memang didunia maya perkembangan sastra telah mulai membaik. Dapat kita lihat, kini mulai banyak bermunculan situs-situs sastra dan ada juga beberapa pihak yang mengadakan lomba pada situs mereka dengan tujuan meningkatkan dan mengembalikan kejayaan sastra. Namun, perkembangan didunia maya ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya, jangkauannya yang kurang luas. Sehingga, banyak penikmat-penikmat sastra yang tidak dapat merasakan perkembangan ini. Kelemahan ini disebabkan oeh beberapa hambatan, antara lain :
  1. Dunia maya / internet tidak dapat menjangkau seluruh kalangan.
  2. Masih banyaknya penikmat dan peminat sastra yang tidak dapat mengakses internet, bahkan menggunakan computer.
  3. Dan lain sebagainya.

  1.   IV.            Kesimpulan                                     :
            dari pembahasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa lambatnya perkembangan sastra indonesia ini membawa beberapa akibat, seperti semakin menurunnya angka peminat dan penikmat sastra yang dapat menyebabkan sastra indonesia terlupa sebagai warisan budaya bangsa. Permasalahan mungkin disebabkan karena kurangnya pengembangan bakat, pengenalan sastra indonesia pada mayarakat luas. Jadi, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menyelesiakan permasalahan ini, seperti :
  1. Mensosialisasikan dan mengenalkan “apa itu sastra indonesia ?”.
  2. Menumbuhkan semangat cinta sastra.
  3. Meningkatkan pengembangan bakat sastra generasi muda indonesia.




http://tulisanria.files.wordpress.com/2011/01/toleransi.jpg?w=300&h=295Hampir satu tahun saya tinggal disini, sebuah kota kecil disebelah timur pulau Kalimantan,  kota Bontang tepatnya. Lima jam dari Balikpapan atau bandara Sepinggan.
Jauh memang, tetapi ketika sampai di depan pintu gerbang masuk kota yang kecil dan hijau ini kita akan disambut oleh sebuah bangunan rumah sakit yang cukup gagah yang berdiri paling pojok sebelah barat kota ini. Hijau itulah yang terlihat disini. Hal ini pun diakui oleh temen sealumni saya yang suaminya bekerja di Telkomsel Ahmad Yani.
Ketika saya melewati tiga bulan disini, saya mulai merasa adanya hegemoni masyarakat yang heterogen. Berbagai suku menyatu berbaur bersama-sama membangun sebuah kota kecil ini untuk menyamai kota-kota yang telah maju lainnya. Jawa, sunda, banjar, kutai, dayak, bugis, palembang dan masih banyak yang lain. Mereka datang kesini mengais rejeki seperti halnya saya. Tetapi ketika tidak memandang sebagai satuan individu maka akan terlihat bahwa kehadiran mereka disini adalah salah satu komponen bangsa untuk menciptakan kemajuan di suatu wilayah Timur Kalimantan.
Untuk menciptakan itu bahasa merupakan salah satu partikel fundamental yang memberikan kontribusi paling banyak. Orang jawa menggunakan bahasa Jawa, orang sunda terbiasa dengan bahasa Sundanya dan Kutai dengan dengan bahasanya. Bagaimana jika ketiga orang tersebut yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Disinilah terlihat sekali jika bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa penyatu, yang menjembatani agar kami bisa saling mengerti dan memahami.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu tidak berdiri sendiri begitu saja. Tolerasi dan sikap tentu juga menjadi bumbu yang dinamis agar komunikasi bisa tersampaikan satu sama lain. Kenapa? budaya berbeda maka adatnya pun berbeda. Sebagai contoh orang batak memiliki tabiat yang begitu keras, orang jawa lebih kalem. Jiwa yang kalem tidak bertoleransi pada seorang Batak,entah apa jadinya. Bukannya maksut tersampaikan malah bisa-bisa akan bertengkar.
Budaya Indonesia Yang Di Klaim Malaysia
Sungguh sangat Menyakitkan hati bangsa indonesia atas ulah negeri tetangga yang telah banyak meng klaim budaya-budaya indonesia,mengapa negara tetangga tersebut begitu leluasa meng klaim budaya kita?apakah karena kita terlihat begitu lemah??mengutip perkataan bapak jero wacik selaku menteri budaya dan pariwisata sore tadi yang mengatakan bahwa “Kita adalah negara kaya kebudayaan,sedangkan negara tetangga miskin kebudayaan,makanya dia berusaha untuk memiliki sebagian kebudayaan tersebut”..sepertinya kok tenang-tenang saja dan cenderung pasrah begitu saja budaya kita dicomot dan di injak2 oleh negara tetangga.sungguh sangat ironis sekali,padahal yang namanya budaya itu adalah smbol suatu negara,jikalau budaya kita sudah dipermainkan serta di klaim,itu sama saja menginjak2 harga diri bangsa indonesia…dari semua budaya yang di klaim malaysia,saya menulis 10 besar yang telah di klaim ….
1.Batik\

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg18ReZU3wGUD8usRfTMeMDUA-IBELvFD4IAQB6dI1q1ch4IoUIOiWAmNCAIMRD1F3cvtXjvKJXsSukhCT7JWZWsNp0F7je08ZEvxYC0Q4QSCMBERVKF5vSSUMq-LqmFtiOVi5idFcO8Giq/s1600-r/batik1.jpg
Klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Bangsa ini harus segera menghapus bayang-bayang yang meresahkan itu agar perajin batik Indonesia di kemudian hari tidak perlu memberi royalti kepada negara lain.
Perajin batik Pekalongan, Romi Oktabirawa, mengatakan hal itu dalam pembentukan Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Romi mengatakan, generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia.

Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh Unesco sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage).



2.Tari Pendet


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirLoRviqDsXCpzbVb7C5ZdM7Vzz7c5Fu4TK5I8zNRrAGfAbRrJBbskrG3uVBgxSBhyphenhyphenGUDyuCrWt5slpECo6_MuapkMPa1Nf55DEpY37mUC4Z5YWS2L610_Y_Gpo74VllpsJUlRDl4ViSwi/s1600-r/TariPendetVidiaAndCindy.jpg


Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai aset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begitu lama, diklaim negara tetangga. Pola pengklaimannya pun dilakukan melalui momentum formal kenegaraan. Seperti melalui media promosi ‘Visit Malaysia Year’ yang diselipkan kebudayaan nasional Indonesia.


3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi

9.Keris
10.Rendang Padang



Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : kesha Avaro
Umur : 22 Tahun
Pekerjaan : Auditor
Alamat saat ini : Jl. Chikini no. 40 Jakarta pusat
Untuk selanjutnya disebut pihak ke I (penjual).
Nama : Randy Supomo
Umur : 27 Tahun
Pekerjaan : Technology informasi
Alamat saat ini : Jl. Jagakarsa no . 46 jakarta selatan
Untuk selanjutnya disebut pihak ke II (pembeli)
Pada tanggal 28 mai 2011 pihak ke I. Telah menjual, lepas/mutlak sebidang tanah darat seluas 345 M2, berikut sebuah bangunan yang terletak diatas tanah tersebut kepada pihak ke II dengan harga tunai Rp. 44.000.000,- (empat puluh empat juta rupiah). Pembayaran dilakukan dihadapan saksi-saksi dengan tunai.
Batas-batas tanah tersebut adalah sebagai berikut :
Sebelah barat : Berbatasan dengan tanah corline meysa
Sebelah timur : Berbatasan dengan tanah vero karloza
Sebelah utara : Berbatasan dengan tanah fauzi supriadi
Sebelah selatan : Berbatasan dengan tanah andi suriyo
Bangunan terdiri dari :
Ukuran panjang dan lebar : 135 M2
Atap : Asbes
Dinding : Tembok
Lantai : Keramik
Maka, sejak tanggal 28 jmai2011Tanah bangunan tersebut di atas telah menjadi hak milik pihak ke II. Pada waktu pelaksanaan jual beli tanah tersebut baik pihak ke I (penjual) maupun pihak ke II (pembeli) juga saksi-saksi semuanya meyatakan satu sama lain dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani, dan segala sesuatu dengan itikad baik.
Demikian, setelah keterangan isi jual beli ini dimengerti oleh pihak ke I dan pihak ke II, juga saksi-saksi, maka ditanda tanganilah sebagai permulaan saat pemindahan hak milik pihak ke I kepada pihak ke II.
Tarakan, 28 mai 2011
Tanda tangan masing-masing
Pihak Ke I (Penjual) (kesha Avaro )
Pihak Ke II (Pembeli) (Rendy Supomo)
Saksi-saksi
Saksi Ke I (Maria)
Saksi Ke II (Azizah)
Saksi Ke III ( Vicky)
Saksi Ke IV (Aminah)